Kenaikan TDL Disepakati, Rakyat Lagi-lagi Dikhianati
// Category: Nasional //Dipastikan, awal bulan depan, 1 Juli 2010, Pemerintah atas persetujuan DPR kembali menaikkan tarif listrik (TDL). Alasannya klasik, beban biaya operasional PLN makin berat, subsidi listrik yang didapat PLN dari Pemerintah tidak bertambah, sementara harga listrik saat ini dipandang belum mencapai harga keekonomian. Dengan alasan ‘logis’ itulah, Pemerintah saat itu memastikan kenaikan kembali tarif dasar listrik (TDL).
Memang, Pemerintah tidak menaikkan TDL untuk listrik rumah tangga memengah ke bawah yang berdaya 450 – 900 watt. Namun, dipastikan dengan kenaikan TDL nanti, kinerja sejumlah industri dipastikan bakal tertekan akibat kenaikan TDL. Tentu, selanjutnya akan ada efek domino; harga-harga barang bakal meningkat, yang ujung-ujungnya membebani rakyat juga.
Kenaikan TDL bagi masyarakat Indonesia tentu bukan barang baru; hal biasa. Saking biasanya, saat ini seolah-olah sedikit sekali penolakan di masyarakat. Mungkin masyarakat memang sudah bosan. Mungkin pula karena memang mereka sudah merasa tidak berdaya untuk menolaknya.
Jika kita merunut jauh ke belakang, jika dihitung sejak bulan Oktober 1994 saja, rezim Orde Baru mengumumkan kenaikan TDL untuk ke-11 kalinya dengan kenaikan rata-rata TDL 7-68% dari TDL lama. Selanjutnya Mentamben waktu itu, IB Sudjana, mengatakan bahwa Pemerintah mulai menerapkan kenaikan tarif listrik berkala tiga bulan sekali.
Tingkat kenaikannya akan mengacu pada harga bahan bakar dan tenaga listrik yang dibeli, inflasi, serta nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing. (Republika, 22 Oktober 1994).
Walhasil, kenaikan TDL menjadi problem klasik yang sudah lama terjadi, dan mungkin akan terus menjadi semacam ‘tradisi’ PLN ke depan dari tahun ke tahun, siapa pun rezim yang berkuasa di pemerintahan.
Tentu, hal itu akan selalu terjadi jika akar persoalannya tidak tersentuh, dan Pemerintah tidak memiliki political will yang kuat untuk melahirkan kebijakan-kebijakan energi nasional yang tepat, khususnya terkait dengan ketenagalistrikan nasional.
Persoalan Seputar PLN
PLN saat ini dikenal sebagai perusahaan yang memiliki kinerja dengan 3 kombinasi yang tidak logis, yaitu: sudahlah disubsidi, tarifnya mahal, rugi lagi. Kombinasi yang dianggap logis menurut logika ekonomi konvensional adalah: disubsidi, rugi dan tarifnya murah; atau kombinasi yang lain, yaitu: disubsidi, untung dan tarifnya mahal.
Paling tidak, ada 5 sumber masalah yang menyebabkan terjadinya kombinasi tidak logis pada PLN tersebut. Dua masalah lebih terkait dengan persoalan internal PLN sendiri, yakni lebih terkait dengan manajemen-teknis-operasional.
Dua masalah lainnya lebih terkait dengan kebijakan ekonomi Pemerintah. Masalah yang terkait dengan manajemen-teknis-operasional PLN adalah:
- Banyak terjadi korupsi di tubuh PLN. Sebagian kasusnya sudah terungkap dan beberapa sudah mulai disidangkan. Contohnya adalah kasus PLN Borang, PLTU Cilacap, PLN Cilegon, PLTU Tanjung Jati B, kasus dana Tantiem yang melibatkan Direksi dan Dewan Komisaris belum diusut tuntas.
- Ketidakefisienan dalam pengelolaan PLN. Hal itu sudah jamak menimpa BUMN-BUMN di Indonesia.
Adapun masalah yang terkait dengan kebijakan ekonomi Pemerintah yaitu:
- Swastanisasi listrik dalam bentuk pengadaan listrik oleh swasta melalui sejumlah konsorsium, yang mengharuskan PLN membeli listriknya dengan harga yang mahal.
- Liberalisasi sektor energi, terutama BBM, yang berdampak besar pada semakin beratnya beban operasional PLN dalam menyediakan listrik.
Oleh karena itu, jika keempat sumber masalah di atas tidak dapat diatasi, opsi kenaikan TDL akan tetap menjadi kebijakan ‘alternatif’ pada masa-masa mendatang.
Sayangnya, solusi yang banyak ditawarkan oleh pakar-pakar ekonomi ‘konvensional’ saat ini hanya terfokus pada persoalan internal PLN, yang berkaitan dengan manajamen-teknis-operasional, yaitu: penghapusan korupsi dan pengelolaan perusahaan yang lebih efisien.
Sebaliknya, persoalan kebijakan ekonomi Pemerintah, yakni menyangkut swastanisasi listrik dan liberalisasi di sektor energi, nyaris tidak tersentuh sama sekali. Padahal pada faktanya, krisis yang sering dialami oleh PLN acapkali sumber utamanya adalah kebijakan ekonomi Pemerintah yang keliru.
Benar bahwa korupsi dan ketidakefisenan pengelolaan PLN menjadi sumber masalah yang dialami PLN. Jika dua solusi ini berhasil maka logika PLN akan menjadi 2 kemungkinan: disubsidi, rugi dan tarifnya murah; atau: disubsidi, untung dan tarifnya mahal.
Namun demikian, dengan hanya dua solusi tersebut, berarti masih ada dua masalah penting yang belum dicarikan solusinya, yakni menyangkut kebijakan ekonomi Pemerintah yang terkait dengan swastanisasi dan liberalisasi sektor energi. Inilah yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini.
Perlu Solusi yang Komprehensif
Solusi yang ditawarkan oleh banyak pakar ekonomi dalam persoalan ketenagalistrikan, yang hanya berputar-putar pada persoalan korupsi dan ketidakefisienan PLN, lebih didasarkan pada asumsi bahwa kebijakan ekonomi Pemerintah di bidang ketenagalistrikan khususnya dan umumnya di sektor energi sudah berada di jalur yang benar.
Karena itu, kebijakan ekonomi Pemerintah dalam masalah listrik dan energi ini nyaris tidak banyak dipersoalkan. Akibatnya, yang menjadi sasaran tembak selalu PLN-nya, bukan Pemerintahnya. Mengapa ini bisa terjadi?
Sebagaimana diketahui, teori-teori ekonomi konvensional yang berkembang saat ini tidak pernah keluar dari kerangka ekonomi kapitalis. Inti ajaran Kapitalisme dalam persoalan ekonomi yang paling ‘sakral’ adalah ekonomi pasar bebas.
Paradigma ‘ekonomi pasar bebas’ ini secara pasti mendorong pihak-pihak swasta untuk terlibat dalam pengelolaan ekonomi, termasuk listrik dan energi. Bahkan dalam paradigma kapitalistik ini, semakin sedikit negara ikut campur tangan dalam urusan ekonomi, akan semakin baik ekonomi negara tersebut.
Itulah paham yang selama ini menjadi ‘penjara’ bagi segenap pengembangan teori ekonomi konvensional. Akibatnya, tidak pernah ada solusi yang ‘berani’ keluar dari kerangka pemikiran ekonomi di atas.
Landasan paham seperti ini pulalah yang dijadikan ‘dalil’ oleh pihak IMF dan Bank Dunia untuk memaksakan ekonomi Indonesia agar terus-menerus melakukan liberalisasi ekonomi di semua sektornya, termasuk di sektor listrik dan energi secara umum.
Satu-persatu perusahaan milik negara ‘dipereteli’ melalui program privatisasi dan divestasi sehingga menjadi milik swasta, yang ujung-ujungnya tidak lain adalah swasta asing, yaitu para kapitalis kelas dunia.
1. Masalah swastanisasi.
Sebagaimana diketahui, sebagian daya listrik PLN dipasok oleh pembangkit-pembangkit swasta atau Independent Power Producer (IPP). Entah mengapa, penentuan kontrak pembelian daya listrik yang dihasilkan oleh IPP ini sejak lama membebani PLN. Penentuan harga jual yang harus ditanggung oleh PLN menjadi lebih mahal daripada harga yang semestinya.
Ditengarai ada 26 kontrak dengan IPP yang bermasalah, di antaranya kasus Paiton I, Paiton II, Tanjung Jati B, Karaha Bodas dan lain sebagainya. Menurut perhitungan Serikat Pekerja PLN, kerugian negara dari kasus Paiton I saja, dari kontrak yang ditandangani pada tahun 1994, misalnya, adalah US$ 700 juta.
Padahal selain komponen energi, pembayaran untuk pembelian listrik kepada IPP adalah salah satu pembiayan terbesar dari operasional PLN. Menurut penghitungan WG-PSR (Working Group on Power Sector Restructuring), harga jual listrik yang wajar dari IPP adalah di bawah 4 sen dolar/kwh. Kenyataannya, harga jual hasil dari renegosiasi Pemerintah saat itu masih di atas 4.2–4.7 sen dolar perkwh. (T. Harvey Abdullah, 8/3/06).
2. Masalah liberalisasi sektor energi.
Sebagaimana juga diketahui, IMF dan Bank Dunia telah lama memaksakan kehendaknya kepada Pemerintah agar melakukan liberalisasi ekonomi, khususnya sektor energi. Liberalisasi ekonomi, khususnya di sektor energi, jelas memberikan peluang kepada pihak swasta untuk ‘ikut nimbrung’ dalam pengelolaan ekonomi.
Persoalannya, karena swasta asing jauh lebih memiliki kekuatan dalam hal modal, sumberdaya manusia, maupun teknologi maka merekalah pada akhirnya yang banyak menguasai sektor-sektor ekonomi strategis, khususnya sektor energi.
Sebagai contoh, dalam bidang perminyakan, hampir semua sumur minyak di Indonesia telah lama dikuasai oleh perusahaan raksasa minyak asing yang merupakan perusahaan multinasional seperti Exxon (melalui Caltex, Atlantic Richfieldd (melalui Arco Indonesia), dan Mobil Oil. Selebihnya, Pertamina yang memproduksi.
Dalam skala lebih kecil, ada pengusaha-pengusaha swasta nasional yang ikut terjun dalam bisnis minyak bumi seperti Arifin Panigoro dengan Medco-nya. Tommy Soeharto dengan Humpuss-nya, Ibrahim Risjad, Srikandi Hakim, dan Astra International.
Penguasaan sumber-sumber energi oleh pihak asing tentu bukan tanpa masalah.
Penguasaan sumber-sumber energi oleh pihak asing tentu bukan tanpa masalah.
Kebijakan Pemerintah untuk menaikkan harga BBM lebih dari 100 persen pada tahun 2005 lalu, misalnya, disinyalir—salah satunya—adalah karena tekanan berbagai perusahaan minyak asing, di samping untuk mengundang para investor asing agar lebih banyak lagi berinvestasi di bidang perminyakan.
Dengan kenaikan harga BBM, jelas PLN kena dampaknya. Pasalnya, komponen pembiayaan energi untuk PLN memakan biaya yang sangat besar. Sebagai contoh, pemakaian BBM untuk pembangkit-pembangkit PLN mencapai Rp 28,4 triliun pertahunnya, atau hampir seperempat dari seluruh biaya operasional PLN setiap tahunnya.
Besarnya beban biaya operasional PLN ini lebih karena kebijakan ekonomi Pemerintah yang memaksa PLN membeli sumber energinya (BBM, gas, batubara) dengan harga yang dikehendaki oleh perusahan-persuhaan asing ini, yang memang memegang kendali dalam industri minyak, gas dan batubara. Pelayanan listrik murah untuk rakyat pada akhirnya menjadi korban dari kebijakan liberalisasi dari industri energi.
Meski akibat liberalisasi ekonomi, khususnya di sektor energi ini, terbukti merugikan negara/rakyat, Pemerintah tampaknya tidak pernah ‘merasa bersalah’. Pasalnya, liberalisasi ekonomi, khususnya di sektor energi, memang sudah sesuai dengan UU.
Undang-undang tentang Pengelolaan Migas tahun 2001, misalnya, dengan jelas membolehkan pihak swasta asing atau individu untuk mengelola minyak Indonesia dan dengan leluasa membisniskannya.
Wajar jika tuduhan bahwa Pemerintah lebih berpihak kepada swasta asing/multinasional ketimbang swasta dalam negeri ditampik Pemerintah. “Tak ada dalam pikiran kami untuk membedakan perusahaan multinasional atau nasional,” kata Menteri ESDM saat itu, Purnomo Yusgiantoro, seusai menyaksikan penandatangan Kontark Kerja Sama (KKS) antara Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) dengan lima perusahaan baru-baru ini.
Sejauh memenuhi peraturan yang berlaku, kata Purnomo, pihaknya terbuka menerima siapapun apakah perusahaan swasta nasional atau multinasional. Kelima perusahaan itu adalah Petronas Carigali Lampung II Ltd, Husky Oil East Bawean Ltd, Marathon International Petroleum Indonesia Ltd, ExxonMobil Exploration and Production Surumana Ltd dan ConocoPhilips (Amborip Vi) Ltd. Luas wilayah kerja masing-masing berturut-turut adalah 4.139,70 km2 (Blok Lampung II) di lepas pantai Lampung, 4.254,59 km2 (Blok Bawean Timur) di lepas pantai Jawa Timur, 4.707,63 km2 (Blok Pasangkayu) di daratan dan lepas pantai Sulawesi Barat , 5.339,63 km2 (Blok Surumuna) di lepas pantai Sulawesi barat dan 9.649,00 km2 (Blok Amborip VI) di Laut Arafura dengan jangka waktu kontrak selama 30 tahun yang berlaku sejak kontrak ditandatangani. (Bisnis.com, 22/9/06).
Memang, Pemerintah mendapatkan pemasukan dari KKS tersebut. Dirjen Minyak dan Gas Bumi Departemen ESDM Luluk Sumiarso mengatakan, “Total investasi untuk tiga tahun pertama masa eksplorasi sebesar 218,5 juta dolar.
Bonus kerjasama yang akan diterima secara langsung oleh Pemerintah sebesar 14,25 juta dolar,” ujarnya. Dikatakannya, kontraktor juga bersedia membayar bonus untuk peralatan atau jasa dan bonus produksi kepada Pemerintah yang tidak dapat diperhitungkan sebagai biaya operasi.
Namun, di sini ada pertanyaan sederhana, bukankah jika semua itu digarap oleh perusahaan milik negara/BUMN, keuntungan yang diraih Pemerintah pasti akan jauh lebih besar? Jawabannya biasanya klasik: Pemerintah tidak mempunyai cukup dana, teknologi yang memadai, dan sumberdaya manusia yang handal. Alasan ini sekilas tampak logis. Namun, bagaimana dengan kasus ‘penyerahan’ kewenangan utama pengelolaan Blok Cepu kepada ExxonMobil dengan ‘mengabaikan’ Pertamina?
Sebagaimana diketahui, sejumlah ahli geologi yang berkumpul dalam forum yang khusus membahas masalah Cepu pada medio 2005 lalu telah sepakat bahwa tidak ada satu pun alasan—baik secara historis, teknis maupun ekonomis—untuk melepaskan Blok Cepu ini kepada Exxon. Secara historis, minyak di sana ditemukan oleh Prof. Kusumadinata, ahli perminyakan ITB, bukan oleh tenaga ahli EM.
Secara teknis, Pertamina yang sudah lebih dulu bekerja di blok bersebelahan tidak akan mengalami kesulitan mengelola Blok Cepu ini karena secara geologis hampir sama kondisinya. Secara ekonomis pun, sejumlah bank sudah menyatakan komitmennya untuk membiayai kegiatan explorasi minyak di sana.
Anehnya, meski Pertamina yang dipimpin oleh Dirut Widya Purnama ketika itu—tetapi kemudian diganti karena ngotot tidak mau tunduk pada kemauan Pemerintah—terus berusaha untuk mendapatkan Blok Cepu itu, Pemerintah lebih memilih melepaskannya untuk Exxon.
Memang, Pertamina masih dilibatkan. Namun, menilik pejabat yang duduk di kursi puncak perusahaan pengelolaan, yang tidak lain adalah orang-orang dari Exxon, praktis Pertamina seolah hanya menjadi pelengkap belaka.
Walhasil, jika sumber-sumber energi seperti minyak, gas, dan batubara banyak dikuasai asing, alamat kita akan banyak kehilangan akses terhadap sumber-sember energi itu, kecuali jika kita sanggup membayarnya dengan harga mahal. Beban inilah yang, antara lain, ditanggung PLN saat ini, yakni beban mahalnya harga BBM, termasuk gas, untuk operasional.
Solusi Fundamental
Dengan melihat paparan di atas, solusi fundamental atas persoalan listrik/PLN saat ini dapat dikembalikan pada tiga hal:
Pertama: stop liberalisasi energi, kembalikan ke negara sebagai pengelola utama. Alasannya sederhana, liberalisasi hanya memberikan peluang kepada pihak swasta untuk terlibat dalam pengelolaan energi. Layaknya institusi bisnis, yang dipikirkan oleh pihak swasta jelas adalah profit.
Pertama: stop liberalisasi energi, kembalikan ke negara sebagai pengelola utama. Alasannya sederhana, liberalisasi hanya memberikan peluang kepada pihak swasta untuk terlibat dalam pengelolaan energi. Layaknya institusi bisnis, yang dipikirkan oleh pihak swasta jelas adalah profit.
Mereka tidak peduli jika, misalnya, harus menjual BBM dengan harga mahal yang notabene bakal membebani banyak kalangan, baik PLN dan terutama rakyat. Fakta kenaikan BBM beberapa waktu lalu jelas lebih mencerminkan hitung-hitungan bisnis ketimbang keberpihakan kepada rakyat banyak.
Kedua: memberesi secara tuntas persoalan internal PLN dari sisi manajemen-teknis-operasional, termasuk menuntasikan masalah korupsi di tubuh PLN, sehingga PLN menjadi lembaga yang efisien. Menurut ekonom Drajad Wibowo (2006), secara struktural harus diakui bahwa inefisiensi PLN sangat tinggi, terutama dari sisi out put-nya seperti: kebocoran-kebocoran daya, pencurian-pencurian listrik, kongkalingkong antara pegawai PLN dan customer untuk mengurangi pembayaran listrik itu yang jauh lebih besar, dll.
Efisiensi dari sisi out put akan bisa secara signifikan mengurangi kebutuhan kenaikan TDL. Cuma inefisiensi dari sisi out put ini semuanya tidak berada di bawah kontrol PLN. Sebagian ada di kepolisian, sebagian ada di pemerintah daerah, sebagian lagi berada di bawah lembaga-lembaga dan departemen. Dengan pengelolaan yang profesional dan efisien, PLN akan mampu menghemat banyak pengeluaran biaya operasional.
Ketiga (yang mungkin agak ‘radikal’ tetapi sangat mendasar): PLN harus dikembalikan statusnya sebagai institusi pelayanan sebagaimana dulu, dan bukan dijadikan sebagai institusi bisnis (PT). Konsekuensinya, memang PLN akan terus disubsidi oleh Pemerintah dan akan selalu merugi. Pertanyaannya, jika semua itu untuk kepentingan rakyat banyak, mengapa tidak? Bukankah pada hakikatnya listrik adalah ‘milik’ rakyat karena bersumber dari sumberdaya alam yang hakikatnya juga milik rakyat?
Dari Mana Sumber Pendanaan PLN?
Jika PLN dikembalikan menjadi perusahaan yang berorientasi pada pelayanan, bukan lagi institusi bisnis, dari mana Pemerintah bisa mendanai PLN?
Lagi-lagi, jawabannya juga agak ‘radikal’. Sebagaimana kita ketahui, kekayaan alam Indonesia sangat melimpah-ruah. Kawasan hutan Indonesia termasuk yang paling luas di dunia, tanahnya subur, dan alamnya indah. Menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya ketika itu adalah 2,5 miliar dolar. Kini diperkirakan mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS.
Kekayaan minyak Indonesia juga sangat banyak. Menurut catatan Waspada (12-11-2005), Indonesia memiliki 60 ladang minyak (basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0.48 miliar barel minyak dan 2.26 triliun TCF.
Ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya cukup besar dan jelas sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri.
Indonesia juga memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Potensi produksi perikanan budidayanya terbesar di dunia, yakni sekitar 57,7 juta ton pertahun, dan baru berhasil diproduksi sebesar 0,6 juta ton pada tahun 1998 dan 1,6 juta ton pada tahun 2003.
Wilayah perairannya sangat luas, belum lagi kandungan mutiara, minyak, dan kandungan mineral lainnya, serta keindahan alam bawah lautan. Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia juga memiliki perairan laut yang sesuai (potensial) untuk usaha budidaya laut terluas di dunia (FAO, 2002).
Berdasarkan pada perhitungan sekitar 5 km dari garis pantai ke arah laut, potensi luas perairan laut Indonesia yang sesuai untuk kegiatan mariculture diperkirakan 24,5 juta ha. Luasan potensi kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari ujung barat sampai ke ujung timur wilayah Indonesia (Ismail Yusanto, 2004).
Dari potensi ikan saja, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, bisa didapat devisa lebih dari 8 miliar dolar AS setiap tahunnya. Sementara itu, di daratan terdapat berbagai bentuk barang tambang berupa emas, nikel, timah, tembaga, batubara, dan sebagainya. Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan minyak cukup besar.
Dalam bidang pertambangan, Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya. Tahun 1967, PT Freeport Indonesia (FI) memulai Kontrak Karya generasi (KK I) untuk konsesi selama 30 tahun. Pada tahun 1988, secara tak terduga, FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta ton.
Dengan demikian, kandungan emas di bumi Papua yang kini dikelola PT Freeport Indonesia, termasuk yang terbesar di dunia. Tidak aneh jika McMoran Gold and Coper, induk dari PT Freeport, berani menanamkan investasi yang sangat besar untuk mengeruk emas dari bumi Papua itu sebanyak-sebanyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Pertanyaanya, dikemanakan hasil-hasil seluruh potensi kekayaan alam Indonesia selama ini? Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya adalah 2.5 miliar AS dan kini diperkirakan mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS. Dari hasil sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 persen, sedangkan sisanya, yaitu sebesar 83 persen, masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994).
Dalam bidang pertambangan, tahun 1967, PT Freeport Indonesia (FI) memulai Kontrak Karya generasi I (KK I) untuk konsesi selama 30 tahun. Namun, pada tahun 1998 pihak asing tersebut kembali mengajukan pembaruan KK untuk 30 tahun lagi. Ini disebabkan karena PT Freeport menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta ton, sebuah potensi yang besar, PT Freeport mendapat Kontrak Kerja ke-5 bersama 6 perusahaan tambang lainnya.
Menurut Econit, royalti yang diberikan Freeport ke Pemerintah tidak berubah, hanya 1-3.5 persen sehingga penerimaan Pemerintah dari pajak, royalti, dan dividen FI hanya 479 juta dolar AS (SWA, 1997). Jumlah itu tentu masih sangat jauh dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh Freeport sekitar 1.5 miliar dolar AS (tahun 1996), yang dipotong 1 persen untuk dana pengembangan masyarakat Papua yang ketika itu sekitar 15 juta dolar AS. (Gatra, 10/1998).
Jika kita ‘berandai-andai’, andai semua itu dikelola oleh Pemerintah secara langsung, dan tidak diserahkan kepada pihak asing, kita bisa membayangkan, berapa ratus triliun pertahun pemasukan yang bakal didapat Pemerintah. Andai itu terbukti, sebetulnya tidak ada alasan bagi Pemerintah untuk tidak mensubsidi PLN, yang ujung-ujungnya adalah untuk kepentingan rakyat juga.
Penutup
Dari uraian di atas tampak jelas bahwa akar permasalahan ketenagalistrikan di Indonesia tidak hanya sekadar: apakah PLN sudah terbebas dari segala bentuk korupsi atau tidak; termasuk juga apakah PLN sudah efisien dalam pengelolaannya atau belum.
Persoalan yang lebih mendasar adalah: status PLN yang berbentuk PT dan berorientasi pada profit tersebut dapat dibenarkan atau tidak; juga keberadaan listrik swasta, apakah bisa dibenarkan atau tidak? Inilah titik persoalannya.
Persoalan ini, jika tidak diselesaikan, akan membawa implikasi sangat luas pada masa-masa mendatang, yang akan terkait dengan berbagai sektor yang lain. Bukankah ketika harga BBM dan TDL dinaikkan—yang notabene lebih didasarkan pada pendekatan ‘dagang’ ketimbang pelayanan—banyak industri menengah gulung tikar? Bukankah efek selanjutnya adalah banyaknya pengangguran?!
Bukankah banyaknya pengangguran akan berpotensi menimbulkan kerawanan sosial? Akankah semua ini dibiarkan terjadi?!
Walhasil, jelas bahwa persoalan yang paling mendasar sesungguhnya lebih terletak pada kebijak ekonomi Pemerintah. Selama kebijakan Pemerintah masih bercorak kapitalistik dan tunduk pada kemauan asing, persoalan-persoalan di atas tidak akan pernah dapat tuntas diselesaikan dengan baik.
‘Ala kulli hâl, di sinilah pentingnya keberanian Pemerintah untuk mengubah secara ‘radikal’ kebijakan ekonominya, dari yang bernuansa kapitalistik dan banyak dipengaruhi oleh kemauan asing ke arah kebijakan yang mandiri dan lebih berpihak kepada rakyat banyak.
Semoga penguasa dan para pemegang kebijakan di negeri ini masih memiliki nurani untuk tetap berpihak kepada rakyat dan terutama pada kebenaran. Jika tida, mereka seungguhnya akan terus mengkhianati rakyatnya sendiri!
Sumber Dari : Ibnufatih.wordpress.com
Sumber Dari : Ibnufatih.wordpress.com
Related posts :
Loading...
2 komentar for this post
Leave a reply
- 2008 - 2009 Ruangbacaan. Content in my blog is licensed under a Creative Commons License.
- Ruang Bacaan template designed by RuangBacaan Design.
- Powered by Blogger.com.
Anonymous
June 24, 2010 at 3:36 AM
PEMERINTAH MEMANG BERENGSEK.TAI MEREKA PADAHAL HANYA MEMPERKAYA DIRI MEREKA SENDIRI DPRNYA BANGSAT JG ALASAN MASALAH INTERNAL PLN BANGSAT SEMUA ORANG" PEMERINTAH DAN DPR MUDAH"AN DI AZAB KALIAN ANAK"KALIAN MENJADI SENGSARA TERUS MENERUS MUKA SETAN SEMUA
Anonymous
June 24, 2010 at 3:40 AM
KENAPA RAKYAT INDONESIA MASIH SAJA MAU DI BODOHI OLEH PEMERINTAH DAN DPR.ORANG MISKIN DI TINDAS LAHAN MEREKA DI GUSUR PADAHAL HANYA SEBUAH LAPAK SEDANGKAN MEREKA MAKIN MEMPERKAYA DIRI NAUZUBILLAHMINJALIK JIKA AKU PUNYA KUASA KU PENGGAL KEPALA KALIAN SEMUA.HAYOO SEMUA RAKYAT INDONESIA BERSATU HANCURKAN ORANG" BIADAB SEPERTI INI