Setelah Pit Dral, Kini Beralih ke Pit Jepang
// Category: lifestyle //Siapa bilang anak-anak sekolah malu bersepeda? Tengoklah suasana di seputaran Kota Pekalongan, Jawa Tengah, saat jam berangkat atau pulang sekolah. Jalanan di kota batik itu disesaki siswa-siswi yang bersepeda.
Sepeda-sepeda yang mereka pakai nyaris seragam bentuknya: sepeda jengki dengan keranjang di depan, yang biasanya dipenuhi buku dan tas sekolah. Siswa dan siswi sama saja, menggunakan sepeda jengki berkeranjang itu. Salah satu jalan paling ramai dengan sepeda pada pagi hari adalah Jalan Seruni, jalur alternatif yang menghubungkan Pekalongan dengan Kabupaten Batang.
Sejak pukul 06.00 hingga 07.00, jalanan itu dipenuhi lalu lalang pelajar bersepeda. Kemudian setelah pukul 08.00 sampai 09.00, giliran para pekerja pabrik, buruh harian, dan karyawan toko dari arah Batang menyerbu Pekalongan. Siang serta sore harinya, siswa dan dan pekerja menyusur arah sebaliknya dengan sepeda.
Dari depan SMP Negeri 7 Pekalongan di Jalan Seruni, keriuhan pesepeda itu terekam jelas. Sepanjang sekitar empat jam pada pagi hari dan dua jam pada sore hari, arus kereta angin ini terus mengalir tanpa henti. Sebagian berujung dan bermula di parkiran sekolah itu.
”Semua kalangan pakai sepeda Jepang berkeranjang. Di sini enggak malu untuk pakai sepeda jengki bekas Jepang. Justru mereka bangga bisa punya sepeda itu,” kata Nur Kawakib, Kepala Sekolah SMP Negeri 7 Pekalongan.
Nur menolak stigma bahwa pelajar yang bersepeda itu anak-anak miskin yang tak tak mampu membeli kendaraan bermotor. ”Oh tidak, di Pekalongan beda. Banyak, kok, anak juragan batik atau minimal orangtuanya punya kerajinan batik rumahan yang tetap naik sepeda. Naik sepeda itu hal biasa di sini,” katanya.
Dia menyebutkan, dari 672 siswa di sekolahnya, 90 persen di antaranya bersepeda. Sisanya naik angkutan karena jarak rumah ke sekolah terlalu jauh atau berjalan kaki karena rumahnya terlalu dekat. ”Kalau yang jarak rumah ke sekolah 4-5 kilometer tetap naik sepeda,” katanya. Rupanya, budaya bersepeda di Pekalongan yang begitu kental itu dipupuk sejak mereka duduk di bangku sekolah.
Kekhasan lain dari pesepeda di kota ini, kata Nur, tak adanya dikotomi antara sepeda untuk lelaki dan sepeda untuk perempuan. ”Di Pekalongan, kami tidak mengenal pembedaan itu. Boleh disaksikan sendiri, kan, di jalanan itu, cowok bertato atau buruh yang tampangnya sangar juga pakai sepeda jengki yang ada keranjangnya itu,” Nur menjelaskan.
Ucapan Nur ini memang bukan mengada-ada. Parkiran di Pelabuhan Pekalongan pagi itu juga dipenuhi dengan sepeda jengki Jepang berkeranjang depan itu. Pemakainya adalah nelayan dan buruh angkut. Terkadang mereka melintas dengan sepeda sambil menenteng ikan-ikat segar.
Menjembatani kesenjangan
Kebiasaan bersepeda di kalangan siswa ini ternyata tak hanya dilakukan anak-anak SMP, yang belum cukup umur untuk mendapat surat izin mengemudi. Anak-anak usia sekolah menengah atas di Pekalongan juga kebanyakan bersepeda ke sekolah. Hanya satu dua siswa SMA yang menggunakan kendaraan bermotor. Padahal, di kota-kota lain, anak-anak SMA bersepeda motor atau bahkan bermobil ke sekolah adalah hal yang lumrah.
Di Pekalongan, beberapa sekolah bahkan melarang siswanya menggunakan kendaraan bermotor ke sekolah. Misalnya, Madrasah Aliyah (MA) Salafiyah, Simbang Kulon, Buaran, Pekalongan. ”Tiap siswa memang diwajibkan bersepeda, ini kebijakan sejak sekolah ini didirikan tahun 1971,” kata Jazuli Tambas, Kepala Tata Usaha MA Salafiyah.
Alasannya, menurut Jazuli, demi kepraktisan. ”Kalau semua pakai sepeda motor atau mobil, parkiran sekolah tak akan cukup. Kalau sepeda, hanya butuh tempat parkir sedikit,” katanya.
Selain itu, Jazuli menambahkan, ada alasan lain yang lebih filosofis. ”Agar tak terjadi kesenjangan. Kalau mobil atau sepeda motor, pasti tak semua siswa punya atau mampu beli. Kalau sepeda, pasti semua punya,” ujarnya.
Maka, tak mengherankan jika sepanjang jalan di daerah Buaran selalu ramai dengan anak-anak bersepeda. ”Dari sekolah kami saja sudah ada 1.037 murid aliyah dan 800 murid tsanawiyah yang hampir semuanya, belum sekolah-sekolah lainnya,” kata Jazuli.
Lalu, kenapa mereka memilih sepeda Jepang? Nur Jazillah, Liarofida, dan Nur Aisyah, ketiganya siswa Kelas X MA Salafiyah, mengatakan, sepeda Jepang itu enak dipakai, kuat, dan yang penting gaya. ”Rekomendasinya dari teman-teman dan keluarga. Semuanya pakai sepeda Jepang, lalu ikutan. Tapi, memang sepeda Jepang itu lebih enak dinaiki, kok,” kata Nur Jazillah.
Mereka pun nyatanya tak malu menggunakan sepeda-sepeda bekas itu. ”Kan, sudah dicat seperti baru?” Nur Jazillah balik bertanya saat dimintai pendapatnya tentang sepeda bekas yang dipakainya.
Apa yang disampaikan Nur Jazilah ini seperti menegaskan keyakinan Sifaul Afif, tengkulak sepeda bekas Jepang di Pekalongan. ”Orang Pekalongan, kalau sudah fanatik pada sesuatu, tak peduli harga lagi. Mereka mampu membelinya,” katanya.
Propaganda yang ditanamkan pedagang sepeda bekas Jepang rupanya memang telah berhasil menembus benak anak-anak sekolahan. ”Sekarang sudah enggak zamannya pakai sepeda jengki asal murah. Jadi, ya, ikut pakai sepeda Jepang, ngikuti tren. Kalau sepeda gunung, sebenarnya suka sih, tapi teman-teman belum banyak yang pakai,” begitu sambung Ilfa Hana, siswa Kelas XI Madrasah Aliyah Salafiyah.
Hingga akhir dekade 80-an, pengendara sepeda di jalanan Pekalongan sebenarnya belum sebanyak seperti saat ini. Pada awal 90-an, orang-orang Pekalongan mulai menggandrungi sepeda gunung yang mereka sebut ”pit dral”, merujuk pada sepeda federal yang sedang booming waktu itu. Pengguna sepeda jengki Jepang masih bisa dihitung dengan jari.
Tentunya, sebelum ada pit dral—istilah pit diadopsi dari kata dalam bahasa Belanda, fiets, yang artinya sepeda—seperti daerah lain, Pekalongan terlebih dulu mengenal sepeda jengki merek Phoenix buatan China yang khas warna biru.
Sepeda-sepeda yang mereka pakai nyaris seragam bentuknya: sepeda jengki dengan keranjang di depan, yang biasanya dipenuhi buku dan tas sekolah. Siswa dan siswi sama saja, menggunakan sepeda jengki berkeranjang itu. Salah satu jalan paling ramai dengan sepeda pada pagi hari adalah Jalan Seruni, jalur alternatif yang menghubungkan Pekalongan dengan Kabupaten Batang.
Sejak pukul 06.00 hingga 07.00, jalanan itu dipenuhi lalu lalang pelajar bersepeda. Kemudian setelah pukul 08.00 sampai 09.00, giliran para pekerja pabrik, buruh harian, dan karyawan toko dari arah Batang menyerbu Pekalongan. Siang serta sore harinya, siswa dan dan pekerja menyusur arah sebaliknya dengan sepeda.
Dari depan SMP Negeri 7 Pekalongan di Jalan Seruni, keriuhan pesepeda itu terekam jelas. Sepanjang sekitar empat jam pada pagi hari dan dua jam pada sore hari, arus kereta angin ini terus mengalir tanpa henti. Sebagian berujung dan bermula di parkiran sekolah itu.
”Semua kalangan pakai sepeda Jepang berkeranjang. Di sini enggak malu untuk pakai sepeda jengki bekas Jepang. Justru mereka bangga bisa punya sepeda itu,” kata Nur Kawakib, Kepala Sekolah SMP Negeri 7 Pekalongan.
Nur menolak stigma bahwa pelajar yang bersepeda itu anak-anak miskin yang tak tak mampu membeli kendaraan bermotor. ”Oh tidak, di Pekalongan beda. Banyak, kok, anak juragan batik atau minimal orangtuanya punya kerajinan batik rumahan yang tetap naik sepeda. Naik sepeda itu hal biasa di sini,” katanya.
Dia menyebutkan, dari 672 siswa di sekolahnya, 90 persen di antaranya bersepeda. Sisanya naik angkutan karena jarak rumah ke sekolah terlalu jauh atau berjalan kaki karena rumahnya terlalu dekat. ”Kalau yang jarak rumah ke sekolah 4-5 kilometer tetap naik sepeda,” katanya. Rupanya, budaya bersepeda di Pekalongan yang begitu kental itu dipupuk sejak mereka duduk di bangku sekolah.
Kekhasan lain dari pesepeda di kota ini, kata Nur, tak adanya dikotomi antara sepeda untuk lelaki dan sepeda untuk perempuan. ”Di Pekalongan, kami tidak mengenal pembedaan itu. Boleh disaksikan sendiri, kan, di jalanan itu, cowok bertato atau buruh yang tampangnya sangar juga pakai sepeda jengki yang ada keranjangnya itu,” Nur menjelaskan.
Ucapan Nur ini memang bukan mengada-ada. Parkiran di Pelabuhan Pekalongan pagi itu juga dipenuhi dengan sepeda jengki Jepang berkeranjang depan itu. Pemakainya adalah nelayan dan buruh angkut. Terkadang mereka melintas dengan sepeda sambil menenteng ikan-ikat segar.
Menjembatani kesenjangan
Kebiasaan bersepeda di kalangan siswa ini ternyata tak hanya dilakukan anak-anak SMP, yang belum cukup umur untuk mendapat surat izin mengemudi. Anak-anak usia sekolah menengah atas di Pekalongan juga kebanyakan bersepeda ke sekolah. Hanya satu dua siswa SMA yang menggunakan kendaraan bermotor. Padahal, di kota-kota lain, anak-anak SMA bersepeda motor atau bahkan bermobil ke sekolah adalah hal yang lumrah.
Di Pekalongan, beberapa sekolah bahkan melarang siswanya menggunakan kendaraan bermotor ke sekolah. Misalnya, Madrasah Aliyah (MA) Salafiyah, Simbang Kulon, Buaran, Pekalongan. ”Tiap siswa memang diwajibkan bersepeda, ini kebijakan sejak sekolah ini didirikan tahun 1971,” kata Jazuli Tambas, Kepala Tata Usaha MA Salafiyah.
Alasannya, menurut Jazuli, demi kepraktisan. ”Kalau semua pakai sepeda motor atau mobil, parkiran sekolah tak akan cukup. Kalau sepeda, hanya butuh tempat parkir sedikit,” katanya.
Selain itu, Jazuli menambahkan, ada alasan lain yang lebih filosofis. ”Agar tak terjadi kesenjangan. Kalau mobil atau sepeda motor, pasti tak semua siswa punya atau mampu beli. Kalau sepeda, pasti semua punya,” ujarnya.
Maka, tak mengherankan jika sepanjang jalan di daerah Buaran selalu ramai dengan anak-anak bersepeda. ”Dari sekolah kami saja sudah ada 1.037 murid aliyah dan 800 murid tsanawiyah yang hampir semuanya, belum sekolah-sekolah lainnya,” kata Jazuli.
Lalu, kenapa mereka memilih sepeda Jepang? Nur Jazillah, Liarofida, dan Nur Aisyah, ketiganya siswa Kelas X MA Salafiyah, mengatakan, sepeda Jepang itu enak dipakai, kuat, dan yang penting gaya. ”Rekomendasinya dari teman-teman dan keluarga. Semuanya pakai sepeda Jepang, lalu ikutan. Tapi, memang sepeda Jepang itu lebih enak dinaiki, kok,” kata Nur Jazillah.
Mereka pun nyatanya tak malu menggunakan sepeda-sepeda bekas itu. ”Kan, sudah dicat seperti baru?” Nur Jazillah balik bertanya saat dimintai pendapatnya tentang sepeda bekas yang dipakainya.
Apa yang disampaikan Nur Jazilah ini seperti menegaskan keyakinan Sifaul Afif, tengkulak sepeda bekas Jepang di Pekalongan. ”Orang Pekalongan, kalau sudah fanatik pada sesuatu, tak peduli harga lagi. Mereka mampu membelinya,” katanya.
Propaganda yang ditanamkan pedagang sepeda bekas Jepang rupanya memang telah berhasil menembus benak anak-anak sekolahan. ”Sekarang sudah enggak zamannya pakai sepeda jengki asal murah. Jadi, ya, ikut pakai sepeda Jepang, ngikuti tren. Kalau sepeda gunung, sebenarnya suka sih, tapi teman-teman belum banyak yang pakai,” begitu sambung Ilfa Hana, siswa Kelas XI Madrasah Aliyah Salafiyah.
Hingga akhir dekade 80-an, pengendara sepeda di jalanan Pekalongan sebenarnya belum sebanyak seperti saat ini. Pada awal 90-an, orang-orang Pekalongan mulai menggandrungi sepeda gunung yang mereka sebut ”pit dral”, merujuk pada sepeda federal yang sedang booming waktu itu. Pengguna sepeda jengki Jepang masih bisa dihitung dengan jari.
Tentunya, sebelum ada pit dral—istilah pit diadopsi dari kata dalam bahasa Belanda, fiets, yang artinya sepeda—seperti daerah lain, Pekalongan terlebih dulu mengenal sepeda jengki merek Phoenix buatan China yang khas warna biru.
Baru awal tahun 2000, sepeda atau pit Jepang menjadi sangat populer di Pekalongan. Kini, bahkan istilah sepeda Pekalongan sempat melekat dan digunakan orang-orang luar kota Pekalongan untuk menyebut sepeda bekas Jepang yang telah dicat ulang itu.
”Saya pernah ditanya teman saya, orang luar Pekalongan, di mana bisa membeli sepeda pekalongan? Saya bingung, sepeda pekalongan? Kemudian teman saya menunjuk sepeda Jepang. Baru saya menyadari, ternyata sepeda Jepang sudah lekat dengan Pekalongan karena di situlah rekondisi sepeda Jepang,” kata Salman, warga Pekalongan.
Jadi, siapa bilang sepeda tidak bergaya? Di Pekalongan, anak-anak sekolah ramai memakainya. Bahkan, mereka mengaku tak malu-malu menggunakan sepeda jengki itu apel ke rumah pacar. Pacaran dengan bersepeda, emmm... alangkah romantisnya....
”Saya pernah ditanya teman saya, orang luar Pekalongan, di mana bisa membeli sepeda pekalongan? Saya bingung, sepeda pekalongan? Kemudian teman saya menunjuk sepeda Jepang. Baru saya menyadari, ternyata sepeda Jepang sudah lekat dengan Pekalongan karena di situlah rekondisi sepeda Jepang,” kata Salman, warga Pekalongan.
Jadi, siapa bilang sepeda tidak bergaya? Di Pekalongan, anak-anak sekolah ramai memakainya. Bahkan, mereka mengaku tak malu-malu menggunakan sepeda jengki itu apel ke rumah pacar. Pacaran dengan bersepeda, emmm... alangkah romantisnya....
Sumber Dari : Kompas.com
Related posts :
Loading...
0 komentar for this post
Leave a reply
- 2008 - 2009 Ruangbacaan. Content in my blog is licensed under a Creative Commons License.
- Ruang Bacaan template designed by RuangBacaan Design.
- Powered by Blogger.com.