Underground Musik Generasi Panik?
// Category: Entertaiment //Judul di atas agaknya provokatif. Tetapi bukan demikian tujuannya. Cuma tergelitik ketika seorang kawan bertanya banyak soal budaya dan musik underground, di antaranya gothic, emo, hard core, dan stone rock.
Tulisan ini tidak akan mengupas underground dari sisi musikalitas apalagi teknik. Tetapi, lebih pada fenomena gerilya 'gerakan musik bawah tanah' dalam perspektif kebudayaan.
Musik bisa berubah menjadi arena angan-angan yang dikuasai oleh hasrat (desire) anak muda untuk menaklukan dunia yang dirasa suram karena persaingan identitas, atau persisnya perburuan merebut pasar (publik/khalayak musik). Ini dianggap tak seimbang dan seolah tanpa akhir.
Ketika berbicara tentang produk kebudayaan pop, khususnya budaya musik, di balik kedigjayaan rezim kapitalisme global atau multinasional, maka perlu perhatian soal ekspresi musik dengan kesadaran. Kesadaran yang telah dibendakan, dimumikan dalam konstruksi kesadaran yang terluka dan palsu dalam wacana kapitalisme global.
Menyitir Greg Matherly dalam tulisannya Revolution for Sale: the Acceptance of Oppression or How to Sale Revolution, "Popular music is a good example of the dangerous co-optation of emotions as well as the co-optation of a vehicle for bringing about class consciousness. The aesthetic beauty of music is so great in the human experience that it is impossible not to call it a form of popular culture."
Dalam kapitalisme mutakhir, tradisi kebudayaan bukannya dimatikan tetapi malah dikemas, direkayasa secara sistematis dan strategis menjadi komoditi. Karena itulah tidak sedikit kritikus budaya radikal yang menolak sifat manipulatif kapitalisme mutakhir, sekaligus juga sifat deseptif pluralisme kebudayaan yang menjadi produknya.
Pluralisme, berdasarkan pengertian ini, tidak semata berarti ‘beraneka ragam hal untuk beraneka ragam orang’, dengan pengertian keterbukaan eksistensial bagi otonomi kebudayaan-kebudayaan dengan struktur dan sistem nilainya masing-masing, melainkan lebih pada ‘beraneka ragam kebudayaan untuk dijadikan komoditi global bagi konsumsi beraneka ragam orang.’
Karena itulah, musik grup band melayu dan underground harus dibaca dalam pengertian pertarungan merebut identitas yang laku di pasar musik. Underground bisa menjadi semacam pemberontakan sub-kultur musik anak muda terhadap dominasi pasar musik yang menguasai industri hiburan.
Namun, underground di sini harus dilihat dalam esensinya sebagai counter-culture terhadap hegemonisasi musik mainstream atau standardisasi musik-musik pop yang telah menjadi produk kebudayaan massa.
Underground haruslah juga dipahami dalam konteks kapitalisasi budaya, di mana dalam konteks ini, aliran musik seperti ini bukanlah semata sebagai arena ekspresi resistensi kultural, tetapi justru untuk merebut pangsa pasar pendengar. Mereka adalah sub-kultur anak muda yang tengah panik mencari dan mendefinisikan identitasnya.
Kondisi tersebut, menjadi ajang 'pelarian' dari dunia yang dirasa rumit (escape from problem). Karena itulah, aliran musik ini sebenarnya masuk dalam sebuah dunia yang terbelah.
Di satu sisi, underground bisa menjadi cermin pemberontakan atau pembangkangan anak muda terhadap hegemoni kapitalisme yang memasung kreativitas dan memoles warna musik yang seragam dan kental warna pasarnya. Di sisi lain, ia justru menjadi ajang pelarian dari sistem sosial dan politik yang terus-menerus mengalami pembusukan (social and political decay) sambil mendesakkan diri untuk menjadi bagian dari subordinat dan ruang hegemoni kapitalisme yang baru.
Dalam konteks ini, ia tak bedanya dengan band-band musik ‘alay’ yang kini tengah in. Yang membedakannya justru pada kesanggupannya untuk menerjemahkan persaingan pasar musik sebagai arena dan ekspresi sub-kultur yang akan memperkaya pelangi musik kontemporer anak muda Indonesia.
Underground hanyalah contoh kecil aliran musik anak muda yang katakanlah berhasil melakukan pemberontakan terhadap kultur dominan dalam masyarakat. Saat ini memang banyak bermunculan grup musik anak muda yang lain, tetapi tampaknya masih sulit diapresiasi secara kultural atau melalui filsafat musik.
Selain itu mengandalkan keanehan dan keganjilan yang muncul lewat sugesti bunyi yang hingar-bingar dan aksesori para pemain yang hanya bisa dijelaskan sepenuhnya dengan memahami proses globalisasi sub-kultur anak muda di balik hembusan angin buritan kebudayaan pop.
Sumber Dari : Inilah.com
Related posts :
Loading...
0 komentar for this post
Leave a reply
- 2008 - 2009 Ruangbacaan. Content in my blog is licensed under a Creative Commons License.
- Ruang Bacaan template designed by RuangBacaan Design.
- Powered by Blogger.com.